Filantropi 2.0: Ketika Para ‘Founder’ Unicorn Indonesia Mulai ‘Memberi Kembali’

Filantropi 2.0: Ketika Para ‘Founder’ Unicorn Indonesia Mulai ‘Memberi Kembali’

Setelah meraih kesuksesan dan valuasi miliaran dolar, generasi baru founder teknologi di Indonesia mulai beralih ke filantropi. Berbeda dengan filantropi tradisional yang berfokus pada donasi amal, para pendiri startup ini membawa pendekatan yang berbeda: filantropi terukur, berbasis data, dan berorientasi pada dampak jangka panjang.

Mereka tidak hanya menyumbangkan uang, tetapi juga waktu, jaringan, dan keahlian bisnis mereka. Banyak dari mereka mendirikan yayasan atau impact fund yang berfokus pada akar masalah sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan perubahan iklim. Mereka menerapkan mentalitas startup—”bergerak cepat, ukur dampaknya, dan lakukan iterasi”—ke dalam program sosial.

Salah satu fokus utama filantropi teknologi adalah pendidikan, khususnya di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika). Para founder ini sadar betul akan krisis talenta digital. Oleh karena itu, mereka banyak mendanai coding bootcamp gratis, beasiswa, dan program pelatihan guru untuk menciptakan generasi talenta teknologi berikutnya.

Pendekatan “memberi kembali” ini juga menciptakan efek domino. Ini menginspirasi karyawan di perusahaan mereka untuk ikut terlibat dalam kerja sukarela. Selain itu, filantropi ini seringkali bersifat kolaboratif, di mana para founder dari berbagai startup bekerja sama untuk mendanai inisiatif berskala besar yang tidak mungkin dilakukan sendirian.

Gerakan ini menandai pendewasaan ekosistem teknologi Indonesia. Para founder tidak lagi hanya diukur dari valuasi perusahaan mereka, tetapi juga dari kontribusi sosial mereka. Filantropi teknologi ini berpotensi menjadi kekuatan baru yang signifikan dalam membantu pemerintah memecahkan masalah-masalah sosial paling pelik di Indonesia.