Skema Carbon Tax di Asia Tenggara: Pro dan Kontra Penerapannya di Tengah Kenaikan Biaya Hidup

Skema Carbon Tax di Asia Tenggara: Pro dan Kontra Penerapannya di Tengah Kenaikan Biaya Hidup

Hanoi – Penerapan Pajak Karbon (Carbon Tax)—biaya yang dikenakan pada perusahaan atas emisi karbon dioksida yang mereka hasilkan—telah menjadi topik panas di kalangan pembuat kebijakan Asia Tenggara. Meskipun pajak ini adalah instrumen penting untuk mencapai target nol emisi (Net Zero) yang ambisius, implementasinya menghadapi resistensi signifikan di tengah kekhawatiran tentang kenaikan biaya hidup dan penurunan daya saing industri.

Indonesia telah mengambil langkah awal dengan menerapkan carbon tax secara terbatas di sektor pembangkit listrik tenaga batu bara, sementara Singapura memiliki skema yang lebih matang. Tantangan utama di kawasan ini adalah memastikan bahwa beban pajak tidak sepenuhnya dialihkan ke konsumen akhir, yang sudah tertekan oleh inflasi pangan dan energi. Selain itu, ada kekhawatiran tentang kebocoran karbon (carbon leakage), di mana perusahaan hanya akan memindahkan operasi mereka ke negara-negara dengan regulasi lingkungan yang lebih longgar.

Para pendukung berpendapat bahwa pendapatan dari carbon tax harus diinvestasikan kembali dalam teknologi hijau dan subsidi untuk energi terbarukan. Untuk sukses, pemerintah harus merancang mekanisme pengembalian dana yang adil (carbon dividend) kepada masyarakat miskin, sekaligus memberikan insentif pajak yang jelas bagi industri yang berinvestasi dalam dekarbonisasi. Implementasi yang buruk justru bisa kontraproduktif, hanya menambah birokrasi tanpa mengurangi emisi secara signifikan.